Kuletakan raga di bawah rindangnya gemintang dalam hening yang membunuh
Keinginanku untuk menghitung waktu terbang bersama lara
Hingga asa pun lepas bersama penat
Kususun hembusan napasku menjadi siul di antara kicauan burung pada dahan-dahan cemara
Sambil menatapi tujuh ekor sapi menjilati bening kulit telaga yang menyambut mereka dengan riak.
Bunyi-bunyi pun menyelinap keluar dari sunyi.
Irama denyut jantung seperti permainan jari gadis kecil pada punggung tifa
Gemericik aliran darahku seperti rincing gelang pada kaki-kaki kuda yang melompati terjalnya bebatuan
Lirih yang kurasakan begitu perih bagaikan
nadi tersayat belatih
Aku merasa sendiri pada kota yang padat dan bising,
Seperti rongga hampa dinding kapur tempat bersarangnya burung pelatuk
Seruling ayah adalah alunan penghibur pada kemah pengungsian ku.
Alam pun solah memahami lirih yang kurasakan
Seperti palu dan paku yang saling membenturkan kepalanya.
Pesannya ditibakan kepadaku tanpa satu pun kata.
Lubang-lubang yang memintaku untuk diam atau menyanyi atau menari atau bersiul
Aku memilih diam membiarkan mereka berlalu
Musik adalah gemah dinding sunyi yang mengurung ku
Dan yang setia menemaniku menuju satu kesunyian terakhir yang menanti di ujung tangga semua nada, dalam paradoks kehidupan.
Jakarta 05 Maret 2021
@m'abstrak
Yos Fernandes L N
Komentar
Posting Komentar